Buku “Four Agreements” yang ditulis oleh Don Miguel Ruiz ini turut mewarnai sejarah hidupku dan menjadi suatu buku yang wajib kubaca setiap saat kala diperlukan karena isinya mampu menginspirasi aku untuk mengambil sikap dalam beberapa situasi di dalam hidupku, baik yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Pada tahun 2012, setelah beberapa tahun aku berlatih yoga, akhirnya aku memutuskan untuk mewujudkan niatku menjadi guru yoga dengan mengikuti pendidikan tentang yoga di sebuah sekolah yoga di Bali. Pada saat itu, aku memang bermimpi dan bercita-cita menjadi guru yoga, karena yoga adalah kegiatan fisik dan spiritual yang paling aku senangi dan aku merasa yoga telah menjadikanku pribadi yang lebih baik dengan jiwa dan raga yang sehat. Pada saat itu, aku bercita-cita untuk ikut membagikan kebaikan tentang yoga ini kepada semua orang sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh para guru yogaku, yaitu dengan mengajarkan yoga kepada sesama manusia.
Sebelum aku memulai sekolah yogaku di Bali, aku mohon pamit kepada beberapa orang yang kusayangi. Mereka semua merestui keinginanku, namun salah satu dari mereka menyatakan keraguannya dengan mengatakan bahwa yoga bukanlah suatu karir (yang baik). Pada saat mendengar hal itu, tentu saja hatiku agar remuk redam. Namun aku mengerti bahwa jabatan sebagai “Guru Yoga” tidaklah terdengar semengesankan dan semewah jabatanku dulu sebagai “Wartawan”, “Konsultan Keamanan”, “Editor Majalah”, dan “Manajer Media Sosial”.
Dibalik semua kekecewaan tersebut, aku tetap berangkat ke Bali dan meneruskan cita-cita dan keinginanku untuk bersekolah yoga. Selama 2 bulan di sekolah yoga ini, aku merasakan betul proses “pemurnian” di dalam diriku, baik melalui proses belajar, latihan, dan juga termasuk melalui beberapa buku yang aku harus baca sebagai salah satu tugas wajib di sekolah ini.
Salah satu bukunya adalah “Four Agreements” yang ditulis oleh Don Miguel Ruiz. Di dalam buku ini terdapat panduan bagi pembacanya dalam menyikapi diri sendiri dan orang lain dengan tujuan agar mereka dapat hidup di “surga” yang mereka ciptakan sendiri melalui sikap dan perkataan mereka, menciptakan “surga” bagi orang lain dan menghindar dari “neraka” yang diciptakan oleh orang lain.
Salah satu “perjanjian” yang menarik adalah mengenai “Jangan mengambil semuanya secara pribadi”, atau kalau dalam bahasa gaulnya adalah jangan terlalu sensitif terhadap sikap dan perkataan orang lain terhadap kita. Dari sini aku belajar bahwa mungkin keraguan orang tersebut atas keinginanku menjadi guru yoga karena orang tersebut dulunya tak punya kesempatan untuk membuat cita-citanya menjadi kenyataan, sehingga dia merasa bahwa orang lain pun tak akan pernah bisa membuat cita-citanya menjadi kenyataan. Mungkin juga bahwa orang tersebut merasa bahwa mustahil bagi diriku menjadikan status guru yoga sebagai pekerjaan utama yang dapat menghidupi diriku sendiri.
“Perjanjian” lain yang menarik di buku ini adalah mengenai “Selalu lakukan yang terbaik”. Banyak hal yang dapat ditarik dari “perjanjian” ini, termasuk melakukan persiapan sebaik mungkin. Hal ini sangat berguna bagiku dalam hal menjalankan karirku sebagai guru yoga. Dari peristiwa diatas, akhirnya aku memutuskan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang terbaik ketika belajar di sekolah yoga di Bali, sehingga aku dapat lulus dengan baik pula dan dapat menjadi guru yoga yang baik. Dan di dalam karirku sebagai guru yoga, hal ini kulakukan bukan hanya sebagai pembuktian terhadap orang yang meragukan keberhasilanku dalam karirku sebagai guru yoga, namun juga sebagai bentuk pertanggungjawabanku terhadap semua klien yang aku tangani.
Pada akhirnya, dari buku ini, aku belajar bahwa aku tidak perlu memikirkan apa pendapat orang lain terhadap diriku, selama aku dapat mengerjakan pekerjaan dan kewajibanku secara baik dan dapat mempertanggungjawabkan hal itu, dan tentunya selama aku tidak merugikan dan menyusahkan orang lain. Aku juga belajar untuk selalu melakukan dan menjadi yang terbaik dalam melakukan pekerjaan utamaku. Pekerjaan utamaku memang hanyalah seorang guru yoga, namun bila aku melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan dan keahlianku, maka aku rasa pekerjaanku yang biasa saja itu dapat menjadi terasa lebih istimewa. Dan hal inilah yang aku rasakan. Pekerjaan ini memanglah tidak mewah, namun sangat cukup bagiku untuk dijadikan sebagai sarana berbagi kepada sesama umat manusia.
Aku juga belajar dari orang yang tidak percaya akan kemampuanku itu bahwa aku tidak boleh bersikap seperti dia yang mengatakan sesuatu yang dapat menjatuhkan mental orang lain. Sejujurnya, mentalku sempat runtuh ketika mendengar perkataan orang tersebut, namun aku cukup beruntung dikaruniai sifat yang masa bodoh dengan pendapat orang dan malah makin gigih dalam mencapai apa yang kucita-citakan. Di dalam buku ini sebetulnya juga tercantum “perjanjian” yang lain, yaitu tentang “Berkata-katalah dengan ucapan yang sempurna dan tidak mencela”, yang berarti bahwa kita harus selalu mengucapkan kata-kata yang positif, baik dan mendukung. Dan belajar dari peristiwa diatas, maka perjanjian yang satu ini akan kupakai sebagai sikap positifku terhadap diri sendiri maupun orang lain dalam kehidupanku sehari-hari.
Buku ini menjadi buku wajibku yang selalu kubaca berulang-ulang agar sikapku dan perkataanku dapat menjadi surga buat orang lain, dan agar neraka yang diciptakan oleh orang lain tidak menjadi nerakaku.
Ad Maiorem Dei Gloriam
Iesus Hominus Salvator