27 April 2004

Kafe Kopi Luwak - Mal Citraland & Duerkop Espresso Maker

Pada hari minggu yang lalu, saya bertemu seorang teman, orang Indonesia yang sekarang berdomisili di Jerman, yaitu Jo.

Sambil mengadakan acara quick breakfast dan ngobrol ngalor ngidul tentang pengalaman dan suka dukanya beliau hidup di negri nun jauh di mata, beliau juga membawakan titipan saya, yaitu sebuah espressomaker untuk 3 cups dari brand Duerkop.

Setelah quick breakfast, Jo dan saya lalu mampir ke toko Fuji Film di Mal Ciputra untuk melihat hasil cetakan foto-foto beliau sebelum mendarat di Indonesia. Waktu selesai mengambil foto, Jo tiba-tiba nanya: "Apaan nih? Kopi Luwak?" sambil menunjuk kafe ngopi di sebelah toko Fuji Film. Akhirnya kami mampir sebentar untuk ngicipin kopi di kafe ini.

Kafe Kopi Luwak
Mall Ciputra
Lt.1 Unit I


Seingat saya, saya pernah kok mampir di kafe yang sama di Mal Kelapa Gading beberapa waktu yang lalu, sehingga saya pun sudah tau kalo kopi Luwak ini produksi dari pabrik kopi di Semarang.

Siang itu, kami masing-masing mencoba Kalosi Toraja dan Espresso.

Kata pelayannya, minuman kopi Kalosi Toraja ini memakai kopi jenis mild roast dari brand Kopi Luwak, sedangkan Espressonya memakai kopi jenis dark roast dari brand Kopi Luwak.

Yang mengherankan, Jo dan saya berpendapat bahwa rasa dan aroma dari Kalosi Torajanya ini kok hampir sama dengan bumbu kacang untuk rujak. Ini terutama bila Kalosi Toraja nya sudah dingin. Wah...jadi pengen ngerujak nih.

Kalo Espressonya sendiri, saya agak kecewa lah. Cream nya kok gak tebal dan pecah gitu. Tapi, ya dihabisin juga tuh sama Jo.

Harga secangkir kopi di kafe ini cukup masuk akal kok, karena total pengeluaran kami untuk 3 cangkir kopi ini kurang dari Rp. 30.000 lah.

Oh ya, kafe ini juga menjual produk mereka, yaitu bubuk kopi Luwak, Rp 15.000 se pak nya. Tapi semuanya udah di giling. Hmm....sayang banget ya gak ada yg masih dalam bentuk biji.

Akhirnya, pertemuan saya dengan Jo harus berakhir pada siang hari, karena beliau harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum bertemu dengan sang ibu tercinta.


Pengalaman Memakai Duerkop Espresso Maker

Pengalaman saya memakai espressomaker ini cukup memuaskan, karena mampu mempersingkat waktu saya untuk bikin kopi (kopi tubruk) yang biasanya memakan waktu hampir setengah jam (nunggu air mateng, dll) menjadi kurang dari 15 menit.

Kalo mau liat seperti apa bentuk dari espressomakernya, bisa di lihat di website mereka, yaitu:

www.duerkop.com

(Site ini berbahasa jerman, tapi bisa kok dicari versi inggrisnya, lalu klik bagian coffee and tea nya di kanan atas. Setelah masuk ke halaman baru, klik bagian coffee di kiri atas. Setelah muncul alat-alat untuk bikin kopi, langsung aja cari halaman 8 dan liat bagian espressomaker 3 tassen alias espressomaker untuk 3 cangkir…itu dia yang dibawain sama Jo).

Kalo boleh di review secara singkat (ini bagi yg belum pernah tau alat ini), espressomaker ini terbagi dari 3 bagian. Bagian bawah untuk tempat air, bagian tengah berbentuk saringan untuk tempat bubuk kopinya, dan bagian atas untuk tempat menampung air kopinya.

Sebelum dipakai, saya cuci dulu espressomaker ini lalu dipanaskan seperti halnya kita membuat kopi dengan alat ini, tapi tanpa kopinya – hanya dengan air, sebanyak 3 kali untuk mensterilkan alat ini. Ini adalah hal yang disarankan oleh Jo.

OK….sekarang waktunya praktek bikin kopi dengan alat ini.

Setelah saya memasukkan air ke bagian bawah alat ini (takarannya 3/4 dari tempatnya), saya tutup bagian bawah ini dengan bagian tengahnya yaitu saringan berbentuk seperti corong untuk memasukkan air ke botol (apaan ya namanya???). Lalu saya isi saringan ini dengan bubuk kopi (1/2 takaran dari tempatnya) dan menutup agak rapat kedua bagian ini dengan bagian atas, sehingga letak bubuk kopi ada di bagian tengah dalam dari bagian bawah dan bagian atas. Lalu saya panaskan espressomaker ini dengan kompor listrik.
(Sebetulnya Jo menyarankan untuk memanaskan espressomaker ini diatas kompor dengan api kecil agar hasilnya perfecto, tapi karena gak ada kompor biasa di tempat saya tinggal sekarang, ya terpaksalah pake pemanas listrik).
Setelah kira-kira kurang (banget) dari 10 menit, espressomaker ini akan panas dan uap mulai mengepul-ngepul keluar dari corongnya yang menandakan air kopi telah naik ke bagian atas. Tunggu beberapa saat untuk memastikan air kopinya naik semua. Abis itu, ya diangkat dan langsung dituang ke gelas.

Hasilnya ternyata air kopi nya lebih pekat daripada air kopi tubruk. Dan ingat, ketika uap mengepul-ngepul keatas, baunya juga tercium lho. Harum sekali. Wuiiihh!!!

Yang mengagetkan saya adalah ketika espressomaker ini saya buka untuk dicuci, ternyata ampas kopi nya ini kering. Berarti airnya benar-benar naik keatas semuanya tanpa tersisa.

Hanya satu yang saya sesalkan, bahwa bubuk kopi yang saya pakai ternyata terlalu halus untuk espressomaker ini, sehingga sebagian bubuk kopi ada yang ikut naik bersama air kopinya. Ini membuat saya tidak bisa langsung menuang air kopinya ke gelas ketika air kopi telah masak, tapi harus ditunggu sebentar agar bubuk kopi yang ikut naik untuk turun dulu.
Ini berarti espressomaker ini harus dipadankan dengan bubuk kopi yang gilingannya agak kasar ya.
Hemmm, kayaknya mesti beli bubuk kopi baru nih.

Overall, saya puas banget dengan espressomaker ini.

Thanks banget untuk teman saya, Jo, yang ikut andil dalam memberi pencerahan bagi saya tentang kopi.

23 April 2004

Coffee Tasting: Kopi Bangka

Beberapa minggu yang lalu, saya dikasi Kopi Bangka oleh Devi yang sedang hamil besar. Si jabang bayi ini kelihatannya bakal melihat dunia beberapa minggu lagi. Saya agak surprise waktu melihat perut buncitnya Devi ini, abis besar banget dan kelihatan penuh sesak…seperti naik bus transjakarta pas jam pulang kantor. Wadaww!!! Tapi, si Devinya senang-senang aja tuh. Maklumlah, anak pertama sih.

Anyway, Devi ini tau banget lah kalo saya ini pecinta kopi. Jadilah dia titip kopi dari daerah asalnya dia, Bangka, untuk di cicipi. Devi bilang, kopi ini di olah di Bangka dengan cara tradisional yang biasa dipakai di kampumg-kampung dengan alat-alat yang sederhana, seperti disangrai diatas tungku tanah liat, dll. Sehingga dia wanti-wanti agar tidak kecewa bila rasanya kurang nendang.

Disini saya akan berbagi tentang cita rasa dari kopi ini, dan juga sambil membandingkan dengan kopi Pontianak yang saya cicipi beberapa waktu yang lalu.

Kopi ini dibungkus oleh kertas coklat yang waktu saya masih SD dulu dipakai untuk sampul buku. Di depan nya, ada stempel merk kopi ini, Kopi Bangka-Sumatra cap Mobil Sedan. Iya....cap mobil sedan....wong ada gambar mobil sedannya tuh. Sebelum kertas coklatnya dibuka, bau dari kopi ini sudah tercium, baunya agak berat di hidung ya. Waktu kertas coklatnya dibuka, di dalamnya ada lapisan plastik yang melindungi kopi agar tidak berceceran bila kertas coklatnya sobek dan mungkin juga untuk menjaga agar aroma kopi ini tidak menguap.

Kalo dilihat dari warna bubuk kopinya, warna kopi Bangka ini lebih gelap daripada kopi Pontianak. Warnamya seperti tanah yang paling subur yaitu humus.

Ketika saya mencium bau kopi Bangka sebelum diseduh, kopi ini bau nya kaya sekali. Ada bau buah-buahannya, ada bau kacang gosong dan ada sedikit bau segernya. Ketika membaui kopi bubuk ini, sepertinya kuping saya turut menari-nari karena adanya bau buah-buahan di bubuk kopi Bangka ini.

Sebelumnya, sekedar perhatian saja, kalo nyium kopi itu harus agak hati-hati, jangan terlampau dekat. Kenapa? Coba aja kalo nyium kopi terlaku dekat, apalagi sambil di-endus-endus, maka serbuk kopi akan sedikit berhamburan dan terbang kemana-mana. Alhasil, baju dan terutama hidung anda akan ada hitam-hitammya. Gak lucu khan.

Ketika saya menyeduh kopi Bangka ini, aroma yang saya cium hampir mirip dengan bau kopi sebelum diseduh. Namun bedanya, bau buah-buahan nya di kopi ini semakin menonjol ketika kopi sudah diseduh selama 3 menit. Tapi kalo nyium baunya lebih daleman dikit, kadang-kadang suka ada bau gosong diantara bau buah-buahannya itu.

Waktu saya meminum kopi Bangka ini, saya merasakan kopi Bangka ini cukup punya karakter di mulut saya. Cita rasa kopi ini mengalir lembut mulai dari dinding atas mulut saya dan lidah bagian atas, lalu turun ke tenggorokan atas, dan mengalir cepat ke tenggorokan dalam. Ketika kopi masih berada di antara dinding atas mulut dan lidah bagian atas, saya bisa merasakan ada rasa bergema di mulut bagian kiri dan kanan, dari satu level ke level lain yang lebih tinggi. Kata temen saya yang juga penggemar kopi, ini ibaratnya ada musik di mulut kita yang dimainkan oleh sebuah orkestra. Jreng...jreng...jreng.... Dari nada pelan naik ke nada cepat. Efek ini mungkin terjadi karena rasa dari kopi Bangka ini semakin lama semakin naik. Mula-mula rasa pahit, lalu naik ke rasa asam dan akhirnya turun lagi ke rasa yang lebih jernih.

Kalo soal keasaman dari kopi ini, asam di kopi ini tidak terlalu dominan sekali. Mungkin boleh dibilang asamnya itu dapat diasosiasikan sebagai rasa segar di kopi ini. Jadi bukan rasa asam yang biasa ditemui di kopi instant yang bisa bikin muka berkerut. Dari sini, saya memperkirakan bahwa kopi Bangka yang saya cicipi ini termasuk kopi robusta berkarakter ringan. Kalau kopi Pontianak yang saya coba beberapa waktu lalu kelihatannya datang dari jenis robusta berkarakter berat.

Rasa dari kopi Bangka ini pas ya di mulut saya. Kombinasi antara pahit yang wajar, diselingi sedikit asam. Bener-bener pas di mulut saya yang doyan kopi tubruk ini.

Kalau soal tingkat kekentalan dari kopi Bangka ini, saya agak kaget dengan apa yang saya lihat. Bubuk kopi nya sih boleh lebih hitam dari kopi Pontianak. Tapi waktu saya tuang ke gelas bening, saya benar-benar kaget dengan warna air kopinya, yaitu hitam jernih dan tidak terlalu pekat. Ini juga terbukti ketika saya campur kopi Bangka ini dengan susu, maka warnanya langsung menjadi coklat muda. Ini beda dengan kopi Pontianak, yang kalo saya campur dengan susu maka hasil akhirnya akan berwarna abu-abu gelap.

Ketika kopi Bangka ini telah masuk ke kerongkongan dalam, rasa akhir di dalam rongga mulutnya itu masih menempel disana agak lama, kira-kira 2 menit. Rasa akhirnya sedikit lebih ringan daripada rasa awal ketika kopi ini baru masuk ke mulut saya.

Secara umum, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa kopi Bangka ini cocok sekali diminum sebagai kopi tubruk. Aromanya yang pas dan kekentalan yang cukup membuat kopi ini agak tidak cocok untuk dicampur susu atau krim. Kalo mau dicampur susu atau krim sih boleh aja, tapi sayang banget deh. Karena hasil seduhan kopi ini tuh sempurna banget sebagai kopi tubruk. Pas di lidah, euy!

Sampai jumpa di pengicipan kopi selanjutnya.

20 April 2004

Coffee Tasting: Kopi Pontianak

Pada hari Sabtu yang lalu, saya beruntung sekali dapat menghadiri suatu kelas Coffee Cupping di Caswell’s Mom, yaitu kelas untuk belajar mengenai kopi dan cara menikmatinya.

Cara menikmati kopi? Iya!! Menikmati kopi. Ternyata menikmati kopi tidak hanya terbatas dengan cara meminumnya saja, tetapi juga bisa dengan cara menyeruputnya, mencium aromanya sebelum dan sesudah diseduh, melihat kepekatannya, dll. Hampir mirip lah dengan cara wine tasting.

Tentu saja saya tidak bisa menjelaskan secara detail pelajaran Coffee Cupping ini seperti apa, karena terlalu detail sehingga akan membosankan.

Yang saya ingin jelaskan disini adalah praktek saya terhadap pelajaran Coffee Cupping itu di dalam kehidupan sehari-hari saya.

Kebetulan, saya mempunyai kopi yang belum saya hayati secara baik-baik. Kopi ini adalah kopi Pontianak, pemberian dari sahabat saya, Tiur. Tiur memberikan kopi ini ketika saya mengadakan Tur de Kopi beberapa waktu lalu.

Tiur bilang, kopi ini dia beli di Toko Obor yang terletak di Jl. Tanjung Pura, Pontianak. Tapi Tiur tidak tahu apakah ini kopi arabika atau robusta. Wah, sayang sekali ya.

Nah, saya ingin sekali berbagi tentang cita rasa kopi ini sekalian mempraktekkan ilmu yang saya dapat dalam kelas Coffee Cupping yang lalu.

Sebelumnya, review saya tentang kopi ini akan saya lakukan dalam Bahasa Indonesia, jadi jangan heran kalo bahasanya agak ajaib, dan penilaiannya bersifat subyektif.

---------------------------------------------

Kopi Pontianak

Kepekatan menyangrai: Agak pekat, karena warna dari kopi ini seperti tanah, yaitu coklat tua sekali.

Bau kopi sebelum diseduh: Kopi ini kok bau nya sangat lembut sekali, bahkan lebih lembut dari kopi smoothnya SB. Bahkan secara ekstrem, hidung saya merasakan bau tanah kalo menghirup bau kopi ini dekat-dekat. Karakter dari kopi ini juga seperti tanah, yaitu padat dan lembab.

Aroma setelah di seduh: Setelah diseduh pun, seperti halnya ketika belum di seduh, aroma kopi ini tidak terlalu kuat. Jangan-jangan, karakter kopi ini memang soft dan mellow ya.

Keasaman: Kopi ini rasanya agak datar, dimana lidah saya hanya mengecap rasa kopi saja yang agak pahit itu tanpa harus terganggu dengan keasaman yang biasanya menyertai kopi pada umumnya. Karakter seduhan kopi ini juga agak kering di mulut, tipis lah bahasa gaulnya, dan efek rasanya lebih terkonsentrasi di dinding mulut bagian atas.

Rasa: Datar – agak cemplang sedikit - dan pahit, tapi tidak terlalu pahit banget sih dan tidak berbobot berat sehingga tidak membuat wajah saya menyeringai kepahitan.

Tingkat kekentalan: Berat dan pekat, bahkan ketika di campur dengan susu pun masih kelihatan sekali kepekatan kopi ini.

Rasa akhir di dalam rongga mulut: Setelah ditelan melewati tenggorokan, rasa kopi ini hilang dengan cepat.

Pendapat umum: Aroma dari kopi ini biasa saja dan lembut. Tetapi kekentalannya cukup tebal. Sehingga kopi ini rasanya cocok utk peminum yg tidak mementingkan aroma tapi mementingkan ketebalan dan kekentalan kopi. Kopi ini cocok diminum bila di campur susu atau krim. Atau mungkin bagi para pengopi yang perfeksionis, kopi jenis ini dapat di campur dengan jenis kopi lain yang kalah di tingkat kekentalan tapi menang di aromanya, sehingga menciptakan hasil akhir kopi kental yang beraroma kuat.