Beberapa minggu yang lalu, saya dikasi Kopi Bangka oleh Devi yang sedang hamil besar. Si jabang bayi ini kelihatannya bakal melihat dunia beberapa minggu lagi. Saya agak surprise waktu melihat perut buncitnya Devi ini, abis besar banget dan kelihatan penuh sesak…seperti naik bus transjakarta pas jam pulang kantor. Wadaww!!! Tapi, si Devinya senang-senang aja tuh. Maklumlah, anak pertama sih.
Anyway, Devi ini tau banget lah kalo saya ini pecinta kopi. Jadilah dia titip kopi dari daerah asalnya dia, Bangka, untuk di cicipi. Devi bilang, kopi ini di olah di Bangka dengan cara tradisional yang biasa dipakai di kampumg-kampung dengan alat-alat yang sederhana, seperti disangrai diatas tungku tanah liat, dll. Sehingga dia wanti-wanti agar tidak kecewa bila rasanya kurang nendang.
Disini saya akan berbagi tentang cita rasa dari kopi ini, dan juga sambil membandingkan dengan kopi Pontianak yang saya cicipi beberapa waktu yang lalu.
Kopi ini dibungkus oleh kertas coklat yang waktu saya masih SD dulu dipakai untuk sampul buku. Di depan nya, ada stempel merk kopi ini, Kopi Bangka-Sumatra cap Mobil Sedan. Iya....cap mobil sedan....wong ada gambar mobil sedannya tuh. Sebelum kertas coklatnya dibuka, bau dari kopi ini sudah tercium, baunya agak berat di hidung ya. Waktu kertas coklatnya dibuka, di dalamnya ada lapisan plastik yang melindungi kopi agar tidak berceceran bila kertas coklatnya sobek dan mungkin juga untuk menjaga agar aroma kopi ini tidak menguap.
Kalo dilihat dari warna bubuk kopinya, warna kopi Bangka ini lebih gelap daripada kopi Pontianak. Warnamya seperti tanah yang paling subur yaitu humus.
Ketika saya mencium bau kopi Bangka sebelum diseduh, kopi ini bau nya kaya sekali. Ada bau buah-buahannya, ada bau kacang gosong dan ada sedikit bau segernya. Ketika membaui kopi bubuk ini, sepertinya kuping saya turut menari-nari karena adanya bau buah-buahan di bubuk kopi Bangka ini.
Sebelumnya, sekedar perhatian saja, kalo nyium kopi itu harus agak hati-hati, jangan terlampau dekat. Kenapa? Coba aja kalo nyium kopi terlaku dekat, apalagi sambil di-endus-endus, maka serbuk kopi akan sedikit berhamburan dan terbang kemana-mana. Alhasil, baju dan terutama hidung anda akan ada hitam-hitammya. Gak lucu khan.
Ketika saya menyeduh kopi Bangka ini, aroma yang saya cium hampir mirip dengan bau kopi sebelum diseduh. Namun bedanya, bau buah-buahan nya di kopi ini semakin menonjol ketika kopi sudah diseduh selama 3 menit. Tapi kalo nyium baunya lebih daleman dikit, kadang-kadang suka ada bau gosong diantara bau buah-buahannya itu.
Waktu saya meminum kopi Bangka ini, saya merasakan kopi Bangka ini cukup punya karakter di mulut saya. Cita rasa kopi ini mengalir lembut mulai dari dinding atas mulut saya dan lidah bagian atas, lalu turun ke tenggorokan atas, dan mengalir cepat ke tenggorokan dalam. Ketika kopi masih berada di antara dinding atas mulut dan lidah bagian atas, saya bisa merasakan ada rasa bergema di mulut bagian kiri dan kanan, dari satu level ke level lain yang lebih tinggi. Kata temen saya yang juga penggemar kopi, ini ibaratnya ada musik di mulut kita yang dimainkan oleh sebuah orkestra. Jreng...jreng...jreng.... Dari nada pelan naik ke nada cepat. Efek ini mungkin terjadi karena rasa dari kopi Bangka ini semakin lama semakin naik. Mula-mula rasa pahit, lalu naik ke rasa asam dan akhirnya turun lagi ke rasa yang lebih jernih.
Kalo soal keasaman dari kopi ini, asam di kopi ini tidak terlalu dominan sekali. Mungkin boleh dibilang asamnya itu dapat diasosiasikan sebagai rasa segar di kopi ini. Jadi bukan rasa asam yang biasa ditemui di kopi instant yang bisa bikin muka berkerut. Dari sini, saya memperkirakan bahwa kopi Bangka yang saya cicipi ini termasuk kopi robusta berkarakter ringan. Kalau kopi Pontianak yang saya coba beberapa waktu lalu kelihatannya datang dari jenis robusta berkarakter berat.
Rasa dari kopi Bangka ini pas ya di mulut saya. Kombinasi antara pahit yang wajar, diselingi sedikit asam. Bener-bener pas di mulut saya yang doyan kopi tubruk ini.
Kalau soal tingkat kekentalan dari kopi Bangka ini, saya agak kaget dengan apa yang saya lihat. Bubuk kopi nya sih boleh lebih hitam dari kopi Pontianak. Tapi waktu saya tuang ke gelas bening, saya benar-benar kaget dengan warna air kopinya, yaitu hitam jernih dan tidak terlalu pekat. Ini juga terbukti ketika saya campur kopi Bangka ini dengan susu, maka warnanya langsung menjadi coklat muda. Ini beda dengan kopi Pontianak, yang kalo saya campur dengan susu maka hasil akhirnya akan berwarna abu-abu gelap.
Ketika kopi Bangka ini telah masuk ke kerongkongan dalam, rasa akhir di dalam rongga mulutnya itu masih menempel disana agak lama, kira-kira 2 menit. Rasa akhirnya sedikit lebih ringan daripada rasa awal ketika kopi ini baru masuk ke mulut saya.
Secara umum, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa kopi Bangka ini cocok sekali diminum sebagai kopi tubruk. Aromanya yang pas dan kekentalan yang cukup membuat kopi ini agak tidak cocok untuk dicampur susu atau krim. Kalo mau dicampur susu atau krim sih boleh aja, tapi sayang banget deh. Karena hasil seduhan kopi ini tuh sempurna banget sebagai kopi tubruk. Pas di lidah, euy!
Sampai jumpa di pengicipan kopi selanjutnya.
No comments:
Post a Comment